Bagaimana Membawa Kesejahteraan ke Papua Tengah ?

Dr. Ir. Agus Sumule (foto:tribunnews)

Bagaimana Membawa Kesejahteraan ke Papua Tengah ?

***) Oleh : Agus Sumule/Universitas Papua

Provinsi Papua Tengah (PPT), dengan 8 (delapan) kabupatennya menghadapi masalah pembangunan sumber daya manusia yang serius.  

Apabila kita merata-ratakan tingkat kemiskinan ke-8 kabupaten tersebut, maka tingkat kemiskinan PPT adalah 32,25% (data BPS tahun 2021).  Padahal di provinsi ini ada PT Freeport Indonesia yang konon memberikan sumbangan sebesar 4,7 miliar dollar AS (70 triliun rupiah) ke keuangan negara pada tahun 2023.  

Kabupaten yang tingkat kemiskinannya paling tinggi adalah Intan Jaya: 41,66%; Deiyai: 40,71%; Paniai 36,59%; Puncak 36,26%; Puncak Jaya 36%; Dogiyai 28,81%; Nabire 23,83% dan Mimika 14,17%.  

Tingkat kemiskinan di atas 40% itu sama artinya dengan hampir setengah penduduk di kabupaten itu adalah penduduk yang berpendapatan rendah/sangat rendah sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. 

Angka kemiskinan 23,83% di Nabire, atau Mimika 14,17%, yang tampak seolah-olah relatiif rendah itu, sebenarnya masih lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sekitar 9%.  

Dan, jangan lupa hal ini: di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Mimika, sejak lebih dari 10 tahun lalu,  penduduknya sudah didominasi oleh orang-orang pendatang. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah OAP di Mimika sekitar 41,25%, sementara di Nabire 47,76%.  Apalagi hari ini tahun 2024.  

Artinya, kalau fokus pengukuran kemiskinan di Mimika dan Nabire hanya dibatasi kepada OAP saja, maka hampir pasti jumlah OAP miskin di kedua kabupaten ini tidak banyak berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah.

Soal kemiskinan ini terkait erat dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Provinsi Papua Tengah.  Apabila dirata-ratakan dari IPM kabupaten, maka IPM di tingkat provinsi hanya mencapai angka 55,72.  Lebih rendah dari Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya, dan Provinsi Papua Selatan.  

Hal penting yang terkait dengan IPM ini adalah tingkat pertumbuhannya setiap tahun.  Tingkat pertumbuhan IPM tertinggi adalah Kabupaten Puncak, yaitu 0,73%.  Tetapi karena IPM Kabupaten Puncak pada awal dibentuknya kabupaten ini cukup rendah, maka akan diperlukan 36,75 tahun untuk bisa mencapai IPM tinggi (70 ke atas).  

Tingkat pertumbuhan IPM di kabupaten Deiyai cukup lambat, hanya 0,26% selama tahun 2014-2021.  Kalau tidak ada perubahan di dalam pelaksanaan pembangunan di kabupaten ini, maka perlu 77 tahun lagi baru bisa mencapai IPM 70.

Total penduduk usia sekolah (7 sampai 18 tahun) yang tidak bersekolah di Provinsi Papua Tengah adalah sebanyak 95.308 orang.  Anak usia SD yang tidak bersekolah hampir mencapai 39.000 orang di seluruh Provinsi Papua Tengah.  

Penduduk Usia Sekolah (PUS) yang tidak bersekolah di Mimika mencapai 9.373 orang, Nabire 9.431 orang, Paniai 7.042 orang, Puncak Jaya 1.809 orang, Dogiyai 3.156 orang, Puncak 989 orang, Intan Jaya 1.283 orang, dan Deiyai 5.750 orang.  

Apabila kita memperhitungkan situasi konflik di beberapa kabupaten yang berakibat sekolah-sekolah ditutup, jumlah anak yang tidak sekolah akan jauh lebih besar.  

Apabila angka-angka yang dikemukakan di atas kita renungkan, maka sesungguhnya sementara terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa di PPT, bahkan di seluruh Tanah Papua.  Ada banyak anak yang tidak memiliki masa depan, atau yang dibunuh masa depannya, karena mereka tidak memiliki akses ke sekolah yang baik dan bermutu.  

Ada indikator lain untuk mengukur keberhasilan pendidikan yang perlu kita perhatikan.  Namanya RLS, atau Rata-rata Lama Sekolah.  Indikator ini digunakan untuk penduduk yang berusia 25 tahun ke atas, yaitu mereka yang seharusnya sudah terlibat secara aktif dalam bekerja.  

Rata-rata RLS Provinsi Papua Tengah hanya 5,27.  Artinya rata-rata penduduk dewasanya tidak tamat SD.  Di Mimika 10,81 (hampir kelas 2 SMA/SMK), di Nabire 10,01.  Tetapi Kabupaten Puncak 2,16 (rata-rata hanya sampai kelas 2 SD), Intan Jaya 3,09, dan yang lain kurang lebih sama, yaitu tidak tamat SD).   

Mengapa RLS penting?  Karena hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi investasi besar-besaran di banyak sektor, maka hampir pasti pencari kerja OAP akan sangat sulit diterima kerja karena rendahnya tingkat pendidikan mereka.  

Jelaslah keadaan yang disebutkan di atas bukanlah yang kita inginkan.  Harus ada langkah-langkah memperbaiki situasi ini.  Harus sebanyak mungkin OAP di PPT merasakannya.  

Kalau kita membangun pendidikan dengan mengirim sejumlah anak untuk bersekolah ke luar PPT dengan dana pemerintah, maka kita tidak boleh lupa, bahwa ada *hampir 100.000 orang penduduk usia sekolah yang tersebar mulai dari kota ke kampung yang sama sekali tidak bersekolah*.  

*Siapa yang harus menolong mereka?  Bagaimana caranya?  Mari kita diskusi.*  


Salam hormat.

Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Post 2

Ads Post 3