SUNGGUH HIDUP DI ATAS TANAH MAMA PAPUA ATAU SUNGGUH MATI DI TANAH PAPUA

 
(Ist)
PERS YAMENADI - Orang Papua sungguh hidup. Hidup yang sungguh di Tanah Papua. Tanah Papua dan segala isi alam semesta yang sungguh memberikan kehidupan. Kehidupan yang sungguh hidup diwariskan oleh para leluhur suku-suku Papua. Hidup para leluhur yang sungguh diberikan oleh Allah Suku Bangsa Papua yang sesungguhnya hidup dalam dan bersama manusia dan alam ciptaan Papua yang diciptakan Sang Pencipta. Sebutan Allah yang sungguh hidup telah dikenal sejak para leluhur; sebelum berkontak dengan dunia luar. Suku bangsa Mee menyebut UGATAME, Suku bangsa Miganii menyebut EMO, Suku bangsa Ngalum menyebut ATANGKI, Suku bangsa Hubula menyebut WALKHOAK, dan lain-lain. Alam semesta Papua dan manusianya sungguh diciptakan, dihidupi dan dijalani bersama Allah yang sungguh hidup. 

Apakah orang asli Papua sedang sungguh-sungguh hidup? Realitas berbicara bahwa manusia Papua terperangkap dalam cara berpikir dan keyakinan SUNGGUH MATI. Suatu istilah yang diciptakan oleh kaum penjajah. Para penjajah menyebut manusia dan alam semesta Papua sudah harga mati milik Indonesia. Sebutan ini mengarah pada cara berpikir dan usaha Indonesia untuk mematikan manusia dan alam Papua yang sudah selalu hidup bersama Sang Pemilik Hidup. Sebutan sungguh mati menjadi kekuatan kata para penjajah dan pemilik bahasa untuk mematikan segala daya, energi, potensi dan kekuatan yang menghidupi manusia Papua sebagai jati diri, harkat dan martabat yang memiliki derajat yang luhur dan sakral. 

Nilai, jadi diri, harkat dan martabat Suku-suku bangsa Papua mutlak perlu dipertahankannya. Bagaimana upaya untuk mempertahankan hakekat kepapuaanku? Pertama; cara pandang kepapuaan yang orisinil. Ini berarti cara pandang bahwa saya manusia Suku bangsa Papua maka semua Suku bangsa Papua adalah saya. Kedua; Ungkapan dan ekspresi diriku hendaknya sebagai keaslian orang Papua. Ini berarti saya mengungkapkan nilai-nilai moral, spiritual, etika, sosial budaya, dan kemanusiaan sebagaimana apa yang dihidupi dan diwariskan oleh leluhur suku bangsa kita dalam seluruh ungkapan dan ekspresi diriku dalam hidup. Ini berarti ungkapan dan ekspresi diriku tak bisa saya mengikuti suku-suku bukan kepapuaan. Ketiga; tindakan dan karya sebagai apa diriku dengan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati Allah, alam, leluhur dan manusia Papua yang sungguh hidup bersama dalam satu lingkaran hidup kepapuaanku. Keempat; semua kebaikan suku-suku luar Papua adalah kekayaan yang memperkaya keaslian diriku dalam kepapuaan. Ini berarti saya tidak menjadikan budaya luar sebagai isi diriku dengan "sampul" kepapuaan. Dengan prinsip demikian, kita menghormati Allah Sang Pencipta Manusia Kepapuaan. 

Bagaimana kepapuaanku ini kuat dipertahankannya? Orang Papua apapun sukunya harus berani menghadapi badai yang terus menerus menghantam dan menerpa hakekat, identitas dan jati diri ke Papuaan melalui arus migrasi suku-suku non Papua demi alasan aneka pembangunan bias pendatang. Manusia dan alam semesta Papua dalam badai ancaman eksistensi kehidupannya. Ancaman kepunahan keaslian dan kemurnian diri yang terikat dan bersumber pada Sang Pencipta dan Pemberi Yang Asali, Suci dan Murni. Ini berarti apakah salah suku-suku non Papua? Apakah salah pemerintah dan penguasa Indonesia? Silahkan renungkan sendiri. 

Dalam sudut pandang kolonialisme, Suku bangsa manapun di belahan dunia ini, yang menjadi sasaran dan target kekuasaannya tentunya bahwa hanya ada unsur pemaksaan dari pihak yang ingin berkuasa. Untuk tujuan menguasai alam semesta sebagai warisan leluhur bagi suku-suku pemilik hak ulayat. Misalnya; bangsa kulit putih Eropa, asal negara Spanyol mengklaim Benua Amerika sebagai Penemunya karena Copernicus menjadi yang pertama berlayar hingga tiba di sana. Dalam perkembangan selanjutnya, Suku bangsa kulit putih merasa arogan dan super terhadap Suku pemilik hak ulayat, yaitu Suku Indian. Pada akhirnya Suku Indian dimusnahkan dan bahkan disingkirkan sampai tak berdaya. Kulit putih asal Suku bangsa Inggris merasa berkuasa dan terus mengklaim Australia menjadi Benua miliknya setelah suku-suku bangsa Aborigin, Pemilik Hak Ulayat Atas tanahnya dimusnahkan hingga yang tersisanya disudutkan dan tak berdaya. Kulit putih Suku bangsa Belanda merasa daratan dan Kepulauan Indonesia adalah miliknya selama tiga setengah abad menjajah Indonesia. Apakah hal serupa terjadi kepada suku-suku bangsa Papua oleh suku-suku bangsa Melayu? Marilah kita merenungkannya. 

Para kolonialis biasanya menggunakan teori perubahan dalam pembangunan daerah kekuasaannya, agar dapat terjadi revolusi demi tercabutnya suku-suku pemilik tanah dan Pulau dari akar-akar budayanya. Apakah manusia Papua sudah sedang tercabut dari akar kebudayaan suku-sukunya di Tanah Papua? Apakah yang menjadi senjata utama bagi pemerintah dan penguasa Indonesia untuk menindas suku-suku bangsa Papua? Mari kita merenung sejenak atas kedua pertanyaan tersebut diatas. 

Pertanyaan pertama dapat terurai seperti berikut: pertama; Manusia Papua sudah mulai tercabut dari ikatan kesukuan. Ungkapan dan tindakan yang mendiskriminalisasi, sikap dan perilaku rasialis, stigmatisasi dengan sebutan orang pantai-orang gunung, Suku primitif-suku kanibal, manusia pemabuk-manusia pemalas, manusia emosional-manusia jahat, dan lain-lain. Kedua; manusia Papua terus dicabut dari ikatan dengan nilai-nilai kebudayaannya. Upaya ini dilakukan melalui operasi koteka, operasi anak panah, operasi buku-buku yang menulis tentang Papua, operasi noken dan baju bermotif bintang Kejora, dll. Ketiga; Manusia Papua dicabut dari bahasa daerahnya. Orang Papua dipaksakan harus berbahasa Indonesia. Bila tidak gunakannya maka orang Papua dianggap bukan bagian dari bangsa Indonesia. Keempat; Orang Papua terus dicabut dari ikatan dengan tanah dan alamnya. Hal ini terjadi ketika tanah-tanah diambil untuk aneka perusahan, usaha bisnis dan perumahan demi alasan pembangunan Indonesia seutuhnya tanpa bicara dengan segenap masyarakat pemilik hak ulayat yang terikat secara Suku dan marga, dan lain-lain. Kelima; harkat dan martabat manusia Papua terus dicabut dari esensi dan eksistensi kemanusiaan nya. Hal ini nampak nyata melalui berbagai wujud dan bentuk operasi militer yang mengorbankan ribuan manusia Papua dengan alasan demi menumpas OPM. Ke-enam; manusia Papua dilepas terus menerus dari ikatan dengan para leluhurnya. Hal ini terlihat jelas ketika adanya pembakaran rumah adat, peniadaan batas tanah, pengambilalihan status kepala suku dari sukunya dengan iming-iming kepentingan, dll. Ada masih banyak lagi yang bisa Anda menuliskan dengan daftar yang panjang. 

Pertanyaan kedua tentang senjata dan kekuatan Pemerintah dan penguasa Indonesia menguasai manusia dan alam Papua adalah: Pertama; kebijakan pemerintah Pusat melalui keputusan-keputusan yang tidak benar dan adil, peraturan-peraturan yang menguntungkan orang berduit, program-program yang menipu negara-negara luar dan menindas rakyatnya bangsa Papua. Kedua; kedudukan dan jabatan yang menjebak para pejabat asli Papua kepada maut dan kebinasaan. Ketiga; kekuasaan hukum yang diskriminatif dan impunitas. keempat; partai politik yang bernafaskan politik uang (Money Politics) dan politik ruang gelap (Dark Room Politics). Kelima; sistem pelayanan pemerintahan yang sentralistis, diskriminatif dan non demokrasi. Keenam; Strategi Jakarta membangun Papua dengan sikap dehistorisasi, dehumanisasi, deforestasi, depolitisasi, deetnografi, demografi dan demokratisasi terhadap nasib dan nafas hidup komunitas suku-suku bangsa Papua. Ketujuh; segala kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik dengan aneka alasan irasional sebagai justifikasinya terhadap segala kebijakan di Papua guna menjaga citra baik negara (Good Image Nation) di mata negara-negara lain. Kedelapan; segala bentuk pelayanan pemerintahan yang non prosedural dan non kontrol. Kesembilan; semua pembangunan di Papua dibangun dengan uang darah (blood money), uang dusta (lying money) dan uang curian (stolen money). 

Dalam situasi demikian, semua orang asli Papua terus diuji apakah tetap mempertahankan ikatan kesukuan Papua sebagai satu leluhur serta ikatan kesatuan dengan alam Papua sebagai mama bumi. Kalau engkau bukan orang asli Papua, anda diberikan kebebasan untuk: 1). Cinta kepada uang Jakarta untuk membunuh masa depan manusia Papua dan alam Papua sebagai mamanya. 2). Cinta kepada tawaran jabatan Jakarta untuk jual saudaranya dan tanahnya. 3) Demi uang dan tawaran jabatan Jakarta, Papua makan Papua, Papua tipu Papua, dan Papua menindas Papua. 4) Karena takut kehilangan uang, kehormatan dan jabatan lalu non Papua menjadikannya orang asli Papua dan orang asli Papua menjadi pendatang di atas tanahnya sendiri. 5) Pejabat Papua dan Orang Asli Papua menjadi alat dan kaki-tangan Jakarta untuk membunuh generasi manusia Papua dan menjual Pulau Papua ke tangan kaum Borjuis. 6) Setiap OAP jadikan tanah surga menjadi istana neraka atau Jadikan tanah emas menjadi telaga darah dan tulang belulang manusia Papua. Hal lain yang tidak saya ungkap boleh anda menambahkannya.

Bila semua ini terjadi maka hidup dan perjuangan manusia Papua bukan SUNGGUH HIDUP, melainkan SUNGGUH MATI. Hanya OAP bisa menghidupi dirinya sendiri, dapat menyelamatkan sesama Papua Nya, dapat menyelamatkan generasi Papua ke depan, dan dapat menyelamatkan Tanah Papua. Agar pada akhir kehidupannya, tubuhnya dapat kembali menjadi Tanah Papua. Bila tidak barang tentu tubuhnya tak akan menjadi tanah Papua, karena oleh mama Tanah akan membuang tubuhnya yang berbau busuk itu ke tempat kebinasaan. Mari kita menjalani hidup di Tanah Papua sebagai Manusia Papua untuk SUNGGUH-SUNGGUH HIDUP! 


Oleh : Puduuwiyai Dou, 

Tanah Air Papua : Minggu 23 Juni 2024)

Previous article
Next article

1 Komentar

Ads Post 2

Ads Post 3