TRADISI PERKAWINAN ADAT SUKU MEE DI PAPUA


A.      PENGANTAR PERKAWINAN ADAT SUKU MEE

Wakawegai adalah istilah perkwinan dalam adat suku MEE. Wakawegai sendiri berasal dari dua suku kata yaitu waka yang berarti hubungan antara pria dan wanita, atau bersatu, dan wegai yang berarti memiliki. Maka dapat disimpulkan pengertian perkawinan sebagai berikut:

1)     Pria dan wanita memiliki hubungan

2)     Pria dan wanita bersatu, atau

3)     Seorang pria dan seorang (beberapa) wanita memiliki hubungan khusus dan bersatu atau bersama. 

Jadi wakawegai adalah hubungan khusus antara pria dan wanita yang dipersatukan dengan ikatan mege makii (pembayaran maskawin). Perkawinan dalam adat suku Mee dikatakan resmi dan sah apabila maskawin dibayar lunas. Dan seorang wanita diperbolehkan oleh orang tuanya untuk mengikuti sang pria. Suku Mee mengenal dua system perkawinan yaitu monogamy dan poligami. Monogami umumnya diberlakukan bagi orang  yang miskin (daba Mee), dan sederhana hidupnya. Sedangkan poligami diberlakukan bagi orang yang kaya (tonawi).

 

B.      TUJUAN PERKAWINAN

Seperti yang ditulis oleh oleh Welemin Tuturop dalam makalanya[3] bahwa tujuan dari perkawinan adalah sebagai berikut:

1)      Memperoleh keturunan yang banyak (pada masa lampau dengan adanya keturunan yang banyak bisa dipergunakan untuk menghadapi musuh).

2)      Melestarikan warisan adat, dan melanjutkan marga,

3)      Mendapatkan anak laki-laki. 

Demikian juga perkawinan dalam adat suku Mee tidak jauh brbeda dengan tujuan prkawinan tersebut di atas. Tujuan prkawinan adat suku Mee adalah sebagai berikut:

a)     Mendapat  anak. Terutama anak laki-laki sebagai pewaris keturunan.

b)     Menambah jumlah tuma (marga) dan menaikan gengsi di tengah masyarakat.

c)     Dengan mendapatkan anak yang banyak diharapkan ada perubahan ekonomi ditengah masyarakat, dan mendatangkan kehidupan/mempertahankan status terutama dalam perang, berkebun, politik, memelihara babi dan lain-lain.   

d)     Anak menjadi tanda persatuan antara istri dan suami (terutama anak laki-laki). Kebanyakan  dalam keluagra Suku Mee kawin banyak Istri atau menceraikan istri dikarenakanan istri mandul atau hanya mendapatkan anak perempuan. 

 

C.      PROSES PERKAWINAN

Sebelum mengenal lebih mendalam tentang proses perkawinan dalam adat suku Mee, diperkenalkan lebih dahulu bentuk perkawinan dalam adat suku Mee. Bentuk perkawinan adat suku Mee ada dua, yaitu Monogami dan Poligami. Kedua bentuk perkawinan ini turut mempengaruhi proses perkawinan adat suku Mee.

1.       Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Mee

Dalam perkawinan adat suku Mee dikenal dua bentuk perkawinan yaitu monogamy dan poligami. Kebanyakan masyarakat Mee yang monogamy adalah mereka yang miskin, sederhana atau tidak mempunyai banyak harta. Tetapi mereka yang mempunai isteri lebih dari satu adalah orang kaya (tonawi) atau mempunyai harta banyak. Perkawinan semacam ini tidak berarti untuk melampiaskan nafsu, tetapi untuk mendapat anak lebih banyak sebagai pewaris keturunan, dan agar anak-anak membantu orang tua mendapat kekuatan dan mempertahankan diri dari lawan /menambah kekayaan orang tua. 

2.     Pemilihan Jodoh

Pemilihan jodoh biasanya terjadi dalam pesta-pesta adat seperti pesta pertukaran barang (pesta tapaa), dan pesta babi (pesta yuwoo), yang melibatkan banyak orang dari berbagai kampung. Kaum pemuda dan pemudi juga hadir dalam peseta itu. Pada pesta ini kaum pemuda dan pemudi mengungkapkan perasaanya melalui syair-syair dan memilih pasangan hidupnya. Pemilihan jodoh ini tidak hanya melaui pesta-pesta tetapi juga bisa ditentukan oleh orang tua atau oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri saat berjupa. Namun dalam pemilihan itu ada syarat-syarat yang harus diperhatikan.

3.     Syarat-syarat perkawinan

Dalam perkawinan adat suku Mee, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan perkawinan adat yaitu sebagai berikut:

ü  Adanya Persetujuan

Dalam perkawinan adat suku Mee biasanya harus ada persetujuan kawin antara mempelai pria dan wanita. Orang tua juga memaikan peranan penting dalam hal persetujuan. Jika orang tua tidak merestui maka perkawinan dibatalkan. Ini berkaitan dengan persoalan tuma sama (marga sama) dan peristiwa sejarah nenek moyang yang kelam pada masa silam, serta berasal dari satu totem yang sama. Jika dilihat kembali dan kedapatan hal seperti ini, maka perkawinan dibatalkan. Jika tidak maka orang tua akan merestui perkawinan anak-anak mereka.  

ü  Kedewasaan Jasmani/fisik

Persayaratan lain lagi adalah kedewasaan secara fisik. Kaum pria dikatakan dewasa, jika berkumis, berjenggot, dan mengalami perubahan tubuh lainya. Disamping itu, dilihat juga dari kemampuan bekerja kebun, berburu, membuat rumah, membuat pagar, membuat perahu, memelihara babi dan kemampuan mengumpulkan mege. Sedangkan wanita dilihat dari membesarnya buah dada. Dan kemampuan lain yaitu; memilih bibit, menanam bibit, membersihkan rumput di kebun, dan menyiapkan makanan.

ü  Pemberian Harta Maskawin

Dalam budaya Mee hal yang paling menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan adalah maskawin (mege makii). Pemberian maskawin ini diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan seturut permintaan dari pihak perempuan. Tetapi permintaan maskawin dari pihak wanita yang terlalu besar tidak selalu dipenuhi oleh pihak laki-laki dan terjadi tawar-menawar hingga minimal mencapai kesanggupan pihak laki-laki. Setelah pemberian maskawin kemudian dilanjutkan dengan upacara peneguhan perkawinan adat.

4.     Upacara Perkawianan dalam Tradisi Mee

1.       Upacara pembukaan

Dalam upacara pembukaan, pemilihan tempat yang dianggap sacral (entah itu rumah atau alam terbuka) sangat penting dilakukan oleh kedua mempelai. Kedua mempelai didampingi oleh orang tua masing-masing. Orang tua pria berdiri disamping kanan dan orang tua wanita berdiri disamping kiri. Setelah itu, upacara dibuka dengan memainkan kaido (musik adat) selama 5 menit. Tujuannya adalah menghadirkan Ugatame (Tuhan) yang diyakini sebagai sang pencipta dan penyelenggara hidup dantang untuk melindungi dan memberkati kedua pasangan baru.  

2.       Upacara peneguhan

Upacara peneguhan ini dipimpin oleh kepala suku. Kepala suku memberikan beberapa nasihat sebagai pedoman hidup kepada kedua mempelai. Upacara-upacara peneguhan lainnya adalah berupa pemberian simbol-simbol. Tujuan dari pemberian ini adalah kedua pasangan dapat hidup menurut nilai-nilai yang berlaku dalam adat. Symbol pertama: mege bugaiya (pasangan mege: jantang dan betina) yang diikat sebagai lambang ikatan kesetiaan antara kedua mempelai. Juga sebagai lambing bisnis. Simol kedua: pemberian bibit tanaman seperti ubi jalar, sayur dan tebu sebagai dasar berkebun atau lambing kesuburan dan kesejahteraan keluarga. Selain itu diberikan juga bibit ternak sebagai dasar berbisnis ternak. Simbol ketiga: pemberian sekop dari kayu (patau) dan kapak batu (maumi) dan anak panah (ukaa mapega) sebagai lambang bekerja, melindungi dan menjaga keamanan keluarga dari ancaman perang dan sebagai lambang berburuh.    

3.       Upacara penutup

Upacara perkawinan adat ini diakhiri dengan membunyikan/memainkan musik adat (kaido) kurang lebih 5 menit. Dan dilanjutkan dengan cerita dongen oleh para tua-tua adat dari masyarakat setempat. Dan keesokan harinya orang tua wanita pulang ke rumahnya.

4.       Kesimpulan

Dalam setiap budaya tentu saja ada pengertian perkawinan, tujuan perkawinan dan proses perkawinan yang dijumpai disana. Dalam perkawinan adat suku Mee ada banyak istilah yang dipakai, namun istilah wakawegai dipakai disini dengan alasan diterjemahkan pengertian ini secra harafia untuk menjelaskan pengertian perkawinan.

Di samping itu tujuan perkawinan dalam adat suku Mee adalah untuk mendapat anak, terutama anak laki-laki. Peranan anak laki-laki dalam kehidupan keluarga suku Mee amat besar. Maka jika tidak mendapat anak laki-laki, para suami yang mampu biasanya kawin istri baru.

Tidak hanya itu, dalam perkawinan adat suku Mee ada syarat yang menentukan sah tidaknya pekawinan dan ada upacara perkawinannya. Syarat itu adalah sebagai berikut:               

a)     Adanya persetujuan baik dari kedua orang tua pria maupun perempuan dan dari kedua mempelai sendiri. 

b)     Adanya tanda kedewasaan secara fisik dan kemampuan bekerja dan kemampuan lainnya, 

c)     Pembayaran maskawin sebagai penentu sah perkawinan. Sedangkan upacara perkawinannya adalah sebagai berikut:    

§  Upacara pembukaan; pemelihan tempat sacral, pendampingan oleh orang tua, memainkan music adat untuk menghadirkan Ugatame.               

§  Upacara pengukuhan; kepala suku, nasihat-nasihat, pemberian symbol perkawinan kepada kedua mempelai, dan 

§  Upacara Penutup; memainkan music adat, cerita dongen, dan pembubaran. 

 

Daftar Pustaka 

[1] Lih. Paulus Valentino Edoway., Skripsi: Inkulturasi Liturgi Perkawinan Katolik Dalam Upacara Perkawinan Adat Suku Mee. 1999. Hal. 63.

[2] Lih. Agustinus Johanis Tatago., Skripsi: Hukum adat perkawinan Suku Ekagi dan Perubahan-Perubahannya Akibat Kontak Dengan Dunia Luar. 1979. Hal. 24.

[3] Lih. Welemin Tuturop., Makalah: Hidup Perkawinan Keluarga Suku Soub Dalam Perspektif Katekese. 2003.  Hal.11.

Tugas oleh Derek Kobepa : Hukum Adat, sistem perkawinan menurut adat Suku Mee, (2021)

[4] Lih. Agustinus Johaes Tatago., skripsi. Hal. 49.

[5] Ibid. hal 27-34.

[6] Op.cit. Paulus Valentino Edoway. Hal. 63-66.

[7] Ibid. hal. 68-69.

Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Post 2

Ads Post 3