SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNIVERSITAS CENDERAWASIH
kabarwone.com - Buku Kenangan
Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87 (Jayapura,
1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10
November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama
WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962
tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas
Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas, pertama Fakultas Hukum
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum,
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP) yang memiliki
Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada
tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli
1963, di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga
yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang
mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan
Tatausaha.
Pada tanggal 5
Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian,
Peternakan dan Kehutanan (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari
ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk
pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan
Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan Pemerintah Belanda pada tahun
1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak
tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.
Dalam
"Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena
pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang
memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih
perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di
Papua.
"Hubungan
antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas
tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah
ditetapkan yaitu: 1. Antropologi, 2. Ilmu-ilmu Pertanian.
Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa
hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas
Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program
yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam
pembangunan daerah Irian Jaya. Pendekatan antropologis sebagai salah satu
metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa
kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini
yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil
yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli
yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat
Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian
khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan
untuk pembangunan negara. " dari: Pengembangan
Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman
30-31. -- 1987 op. cit.)
Antropologi
sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun
1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada
tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih
calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga
peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program
studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai
dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula
program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam
satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi.
Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu
keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar
belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya
ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan
bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas
Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).
Administrasi
maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981
ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984
dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang
kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran
1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah.
Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai
dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu
membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan
Antropologi.
Sejarah UNIPA
Universitas Negeri Papua (selanjutnya disebut
UNIPA) didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 153
tahun 2000, tanggal 3 November 2000. UNIPA merupakan pengembangan dari Fakultas
Pertanian Universitas Cenderawasih. UNIPA diresmikan pada hari Sabtu, tanggal
28 Juli 2001 oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas nama Menteri
Pendidikan Nasional. Perkembangan UNIPA melalui tiga periode, yaitu periode
FPPK UNCEN (1964-1982), periode FAPERTA UNCEN (1982-2000), dan periode UNIPA
(2000-2012).
PENGETAHUAN
Deskripsi |
SEJARAH SINGKAT UNIVERSITAS CENDERAWASIH |
Visi |
Menjadikan Uncen
sebagai lembaga pendidikan tinggi yang unggul dalam pembelajaran,
pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bermutu
tinggi serta kompetitif terutama dalam bidang ilmu Antropologi dan Sumber
Daya Alam bagi kesejahteraan masyarakat papua dan kemajuan Bangsa Indonesia. |
Misi |
1. menyiapkan dan
membentuk sumber daya manusia yang berkemampuan akademik dan atau profesional
yang mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif di tingkat daerah,
regional dan nasional maupun internasional, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. |
Sejarah FMIPA
Sejarah Singkat
Universitas Cenderawasih (Uncen) didirikan di Kotabaru (sekarang Jayapura)
tanggal 10 November 1962 berdasarkan Keputusan Bersama WAMPA/Koordinator Urusan
Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 dan disahkan dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 389 Tahun 1962.
Pada saat didirikan, Uncen memiliki 4 fakultas yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FHKK) yang
berkedudukan di Jayapura, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Perternakan yang
berkedudukan di Manokwari dan pada tahun 1964 berubah menjadi Fakultas
Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (FPKK).
Dalam meningkatkan dan mengembangkan pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, sejak Uncen berdiri telah dibuka Jurusan Ilmu Pasti. Pengembangannya
tahun 1973 di lingkungan Fakultas Keguruan (peleburan dari Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan) dibuka Jurusan Science dengan bidang ilmu Biologi dan
Kimia, pada tahun 1987 Jurusan Ilmu Pasti atau Matematika bergabung dengan
Jurusan Science menjadi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
dengan Program Studi Pendidikan Matematika, Biologi dan Kimia. Tahun 1990
dibuka Program Studi Fisika Diploma Tiga (D-3) yang berubah status menjadi S-1
pada tahun 1994.
Tahun 1990 melalui program kerja sama Canada untuk pengembangan
universitas-universitas di Indonesia Timur (P2T.IT–CIDA atau EIUDP CIDA)
membentuk Unit Pelayanan MIPA (UP-MIPA). Pembentukan UP-MIPA ditetapkan dengan
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 0548/0/1992 tanggal
18 November 1998 mempunyai program pelayanan MIPA dasar dan peningkatan
kualitas SDM khususnya pengembangan kualitas dosen melalui program S-1, S-2,
S-3 dan pendidikan non gelar.
Pengembangan UP-MIPA ditunjang oleh berbagai proyek kerjasama seperti Proyek
Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi (PSLPT) ADB untuk pembangunan
fisik dan peralatan laboratorium Biologi, Kimia dan Fisika serta bantuan bahan
pustaka. Kampus FMIPA Uncen merupakan salah satu bangunan yang pembangunannya
mendapat dana dari proyek ADB.
Program kerjasama antara Uncen dan CIDA Canada merintis pembukaan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 045/O/1998 pada
tanggal 28 Februari 2003 dan izin penyelenggaraan program studi Matematika,
Biologi, Kimia dan Fisika berdasarkan surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional, Nomor : 3208/D/T/2002 tanggal 28 Oktober 2002.
Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka), Oleh: Dr. George Junus Aditjondro
Senin, 04 Mei 2009
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari
gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM
(Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan
orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga
orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang
pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea
Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta
penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena
pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan
Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker,
1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul
di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan
"proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang
kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa
sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat
hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan,
melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai,
yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua
Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para
pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara
"Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung
OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar
Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum
melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua
sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka
dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang
menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan
vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah
mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak
sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya
OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh
daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin
kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75
tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua
bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry
dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK,
atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara
adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan
kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di
Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah
pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis
di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini
adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal
tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala
Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando
almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris,
Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas)
Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya,
"Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi
bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara
didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin
pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku
Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang
pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya
Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik
di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth
Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia
dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di
kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan
kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan
pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran
hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969,
mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura
sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM
pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan
Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam
kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat
Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke
Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai
ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli
1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka
(de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi
maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan
merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem
didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?),
Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway
sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi
sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan
oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea
Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas
Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga
mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri
di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka
sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki
persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini)
sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi
ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan
"proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang
sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14
Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam
penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta.
Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di
antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri
Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun
penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di
Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus
"proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa
hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan
transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang
gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan
"sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di
Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara
waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal
itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap,
ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang
menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua
Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah
mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945,
menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih,
Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia
turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi
di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB,
tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah
dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha
memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan
mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk
memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh
"modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang
berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai
jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir
menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya
itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno,
mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga
itu.
Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan
mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian
lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan
inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai
suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama
Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan
sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak
untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978,
menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas
senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal"
Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang
masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota
maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok
Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan
juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual
dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang
diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang,
cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman
Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan
Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati
oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan
kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari
kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan
penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia
juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman
alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok
Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia,
bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus
kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di
Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang
"subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan.
Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di
perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM
keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983,
ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha
membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus
dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for
all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan
"OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung
antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para
peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan
Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred
Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke
PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan
oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya,
sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun
Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan
kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh
budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian
Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang
kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura
dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan
ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok
Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah
keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya
mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada
tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri
ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk
isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di
dalam kandungannya.
Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes
Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang
mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke
Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat
keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah,
"tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda
guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat
menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang
berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26
April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail,
1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang
seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe
Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah
meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu
Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan
ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut
memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol
nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba
mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri
Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di
Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor
modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik
Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar.
Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di
bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?)
menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan
kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak
Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok
OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang
juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno
("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah
bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri
dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai
ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri
yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi
dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala,
Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera
OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah
berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya,
berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat"
yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas
Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang
lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda,
Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga
warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13
propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak
segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas
landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada
bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam
bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai
Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah
ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu
diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu
pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional"
atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas
pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh
Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme
Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang
sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari
generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat
pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua
ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui
proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang
ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang
Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah
lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu,
apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya
membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan
Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara
sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin
berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun,
dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana,
dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?
Sumber : Internet Jurnal Uncen/Dosen Fisip Uncen
Belum ada Komentar
Posting Komentar