Negara Sering Gunakan Pasal Makar Membungkam Ruang Demokrasi di Tanah Papua

Tiga pembicara Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum, Helmi, SH, dan Emanuel Gobay, SH, MH saat tampil dalam diskusi publik bertajuk Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura di Aula Kebesma Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, Kamis (20/4). (Dok : Istimewa)

Jayapura, KAWASANPUCLIC.COM - Pasal makar sering digunakan negara melalui aparat penegak hukum, terutama para hakim dalam proses dan praktik penegakan hukum untuk membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di muka umum di tanah Papua. Pasal Makar masih salah ditafsir berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penggunaan Pasal Makar.


“Pasal makar di tanah Papua masih dijadikan alat negara kemudian digunakan oleh aparat penegak hukum untuk membungkam ruang demokrasi dan berekspresi di muka umum,” ujar aktivis Koalisi Penegak Hukum dan Ham Papu Helmi, SH dalam diskusi publik di Aula Kebesma Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, Kamis (20/4)


Diskusi yang digelar Amnesty Chapter Uncen bertajuk Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura, Jayapura, mengadirkan pula dua pembicara lain yaitu Koordinator Penghubung Komisi Yudisial RI Provinsi Papua Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, SH, MH.


“Saya melihat hakim tidak profesional dalam menegakkan hukum dan hak-hak asasi manusia di tanah Papua. Misalnya, kasus hukum yang membelit sejumlah mahasiswa seperti Gerson Pigai, Camus Bayage serta juru bicara internasional KNPB sekaligus juru bicara internasional Petisi Rakyat Papua Victor Yeimo,” lanjut Helmi.


Helmi menilai, hingga saat ini negara masih menerapkan sistem kolonial membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi melalui pasal makar menjerat aktivis mahasiswa di tanah Papua.


“Esensi pasal makar masih salah direkatkan dalam berbagai kasus hukum yang terjadi di Papua, terlebih terkait kasus yang dialami mahasiswa atau berbagai kelompok pro demokrasi,” tegas Helmi.


Helmi mengatakan, ruang gerak mahasiswa Papua hendak menyampaikan aspirasi sulit. Pemerintah selalu membangun pendekatan dengan pihak aparat guna membungkam bahkan menghadang aksi massa saat mengisi ruang demokrasi melalui kebebasan berekspresi di muka umum.


“Kami sangat prihatin perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, terutama yang terjadi di tanah Papua. Melarang bahkan membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di muka umum merupakan tindakan melanggar hukum dan konstitusi negara,” ujar Helmi.


Menurut Emanuel, saat ini orang Papua diperhadapkan dengan stigma politik dan rasisme yang mengakar. Aparat keamanan masih menerapkan pola-pola lama dalam praktik penerapan hukum. Aneka stigma politik dominan dan selalu mempengaruhi keputusan hukum.


“Atas dasar berbagai stigma terhadap orang Papua, kerap aparat penegak hukum, termasuk para hakim terkesan tidak profesional dan mengabaikan kode etik dalam penerapan hukum. Contoh nyata adalah kasus yang dialami aktivis Victor Frederik Yeimo. Ruang demokrasi dibungkam,” ujar Emanuel.


Menurut Emanuel, belakangan tersiar informasi bahwa hakim yang menangani kasus Victor Yeimo akan memindahkan berkas Yeimo untuk menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan.


“Skenario memindahkan berkas Victor Yeimo ke Pengadilan Negeri Makasar adalah cara untuk menunda putusan kepada Victor Yeimo. Buktinya, putusan perkara sudah kali ditunda dua kali,” lanjut Emanuel.


Emanuel menyebut, pihak kepolisian terus membatasi hak-hak demokrasi mahasiswa dengan alasan tidak boleh dilakukan karena tidak ada surat izin ke pihak kepolisian. Padahal, dalam undang-undang kegiatan berekspresi di muka umum hanya berupa pemberitahuan.


“Kepolisian menggunakan alasan bahwa aksi demo harus mengantongi surat izin sehingga menghalang-halangi mahasiswa. Padahal, sesuai aturan bukan demimikian tetapi yang dimaksud berupa pemberitahuan,” katanya.


Methodius menegaskan, hakim yang tidak menjalankan kode etik segera dilaporkan kepada Komisi Yudisial. Hukum berlaku adil untuk semua orang, tidak memihak kepada golongan atau etnis tertentu.


“Bila ada hakim yang ketahuan tidak menjalankan profesi sesuai instruksi konsitusi segera dilaporkan. Setelah menerima laporan, kami akan turun dan melakukan pemantauan terhadapa sepak terjang hakim dalam proses penegakan hukum,” ujar Methodius, intelektual muda putra asli Papua dan doktor hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta.


Methodius, Magister Hukum lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, lebih jauh mengatakan, Komisi Yudisial Provinsi Papua baru bekerja di Papua sejak November 2022 dan kini baru memasuki empat bulan usianya. Hal ini tentu membuat masyarakat dan elemen-elemen lain belum tahu keberadaan lembaga ini.


“Saya berharap Komisi Yudisial RI Perwakilan Povinsi Papua didukung masyarakat dan semua pihak guna melancarkan tugas dan tanggug jawab untuk melayani masyarakat guna mewujudkan keadilan di tengah masyarakat, terutama masyarakat kecil dan terpinggirkan di tanah Papua,” kata Methodius.


“Kami sangat membutuhkan dukungan masyarakat dan semua elemen demi mewujudkan keadilan di tanah Papua, termasuk melonggarkan ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi yang kerap tersumbat,” lanjut Methodius, doktor muda asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Diskusi dipandu Jhon F Tebai. (Alpius Uropmabin, 


Sumber : Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Editor : (Redaksi). 

Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Post 2

Ads Post 3