Victor Yeimo : menolak pandangan merendahkan yang diimpor oleh penjajah
Konten kreator Bobon Santoso menangis karena orang Papua di pedalaman tidak pernah lihat dan makan sapi? Jadi, apakah karena tidak lihat dan makan Sapi, hanya minum air kali dan makan sagu/ubi lantas diasosiasikan sebagai bodoh/miskin atau tidak beradab? Tentu banyak literatur untuk menggambarkan kondisi ini secara teori.
Filsuf dan Psikolog Frantz Fanon misalnya menyebut ini sebagai fenomena dimana penjajah bukan saja menjajah secara ekonomi politik, atau bukan saja suatu psikologi rasial bangsa penjajah yang merasa superior, tetapi juga merupakan eksploitasi dan komodifikasi atas identitas dan penderitaan bangsa terjajah.
Emosi kesedihan si Bonbon dibentuk oleh kesadaran palsu atau persepsi superioritas bangsaya bahwa orang Papua belum beradab bila tidak lihat atau makan sapi, nasi, minum air kran, dsb. Bahkan soal konsumsi lokal Papua diasumsikan sebagai keterbelakangan. Bahwa standar hidup kolonial adalah satu-satunya ukuran kemajuan dan keadaban yang sah. Hal ini mencerminkan hegemoni budaya dan pemikiran kolonial yang mendasari kesadaran palsu.
Padahal orang Papua tidak perlu sapi atau makan nasi agar dibilang beradab, karena tujuan penjajah adalah menghapus dan mengganti identitas bangsa terjajah dengan identitas penjajah. Dalam konstruksi kesadaran palsu, Penjajah menafikan atau merendahkan nilai-nilai budaya asli bangsa terjajah, menggantikannya dengan budaya penjajah.
Kedua, Otak Bombon Santoso dan bangsa penjajah diproduksi oleh hegemoni budaya dan pemikiran kolonial yang bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat struktur dominasinya. Itu sangat jelas dari pembuatan konten yang difasilitasi TNI/Polri yang sedang melancarkan pencitraan bantuan sosial dibalik operasi berdarah-darah di Tanah Papua.
Ketiga, Konten Bonbon ini juga untuk menciptakan Internalisasi penindasan. Ini adalah teori Frantz Fanon, dimana bangsa terjajah mulai mengadopsi pandangan dan nilai-nilai yang diimpor oleh penjajah, sehingga mereka merasa bahwa budaya dan identitas mereka sendiri tidak sebanding dengan standar yang ditetapkan oleh penjajah.
Jadi orang Papua yang menyerang tulisan pejuang Pilipus Robaha dan mendukung Bonbon sesungguhnya mengidap penyakit inferior kompleks. Suatu perasaan malu, rendah diri, dan ketidakpercayaan terhadap identitas budaya sendiri dan membenarkan cara budaya penjajah. Mereka tidak paham bahwa itu adalah justifikasi penindasan politik, ekonomi, dan sosial yang diterapkan oleh penjajah atas bangsa terjajah.
Bangsa Papua merasa bahwa budaya dan identitas mereka sendiri tidak sebanding dengan standar yang ditetapkan oleh penjajah sehingga mereka mendukung penjajah sambil merendahkan bangsanya. Ini terjadi karena tekanan sosial, pendidikan yang dikontrol oleh penjajah, dan pengaruh media yang mempromosikan gambaran yang merendahkan tentang budaya bangsa Papua.
Keempat, ketika kesadaran palsu bangsa penjajah sudah terbentuk, secara individu atau kolektif penjajah mengkomoditaskan ras penderitaaan bangsa terjajah untuk keuntungan ekonomi. Jadi apa yang dilakukan Bonbon dan TNI ini tidak hanya memperkuat pandangan kolonial tentang superioritas rasial penjajah, tetapi juga memperdagangkan dan mengkomodifikasi identitas dan penderitaan bangsa terjajah sebagai barang konsumsi yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi, yakni untuk konten mecari cuan, dan memperlancar TNI menyedot APBN negara.
Kita bangsa Papua harus pahami bahwa penjajah membutuhkan pembenaran moral untuk menguasai dan mengeksploitasi bangsa terjajah. Dengan merendahkan budaya dan identitas bangsa terjajah sebagai "tidak beradab" atau "primitif", bangsa penjajah memperkuat narasi superioritas mereka sendiri dan kebutuhan mereka untuk "mencerahkan" atau "memperadabkan" bangsa terjajah.
Dengan menciptakan citra negatif tentang budaya dan identitas bangsa terjajah, bangsa penjajah membenarkan pengeksploitasian sumber daya alam dan manusia bangsa terjajah. Tujuan memperkuat pandangan bahwa bangsa terjajah tidak mampu mengelola atau memanfaatkan sumber daya mereka sendiri dengan baik adalah alasan bagi penjajah untuk mengambil alih kontrol.
Ini digunakan untuk membenarkan kekerasan yang diterapkan oleh penjajah untuk menekan perlawanan bangsa terjajah dan mempertahankan kekuasaan mereka. Bangsa penjajah Indonesia menggunakan stereotip kriminal, teroris, pengacau pada perjuangan bangsa terjajah sebagai alasan untuk tindakan represif mereka. Itulah yang sedag dilakukan di West Papua.
Karenanya, kita bangsa Papua mesti membangkitkan kesadaran akan identitas budaya kita sendiri, menolak pandangan merendahkan yang diimpor oleh penjajah, dan memperjuangkan pembebasan dari hegemoni budaya dan politik kolonial. Kita mesti membangun kesadaran kolektif, menguatkan solidaritas antar sesama bangsa terjajah, dan melawan penindasan serta eksploitasi yang dilakukan oleh bangsa penjajah.
Victor Yeimo
Belum ada Komentar
Posting Komentar